Sejarah Singkat PKKI
Lokasi : Wisma Syalom, Sindanglaya, Jawa Barat
Waktu : 29 Juni – 05 Juli 1977
Tema : Arah Katekese di Indonesia
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-II)
Lokasi : Wisma Samadi, Klender-Jakarta Timur
Waktu : 29 Juni – 05 Juli 1980
Tema : Katekese Umat
(isi pertemuan ini pengertian Katekese Umat itu sendiri dijernihkan dan dirumuskan sebagai komunikasi iman atau tukar-menukar pengalaman iman antara anggota kelompok. Katekese Umat mengalami perkembangan yang menggembirakan. Dalam pelaksanaannya, kunci keberhasilan Katekese Umat sebahagian besar terletak pada pembinaan Katekese Umat)
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-III)
Lokasi : Wisma Bintang kejora, Pacet-Mojokerto, Jawa Timur
Waktu : 29 Januari – 05 Pebruari 1984
Tema : Usaha Pembinaan Pembina Katekese Umat
(isi pertemuan ini untuk menampung dan mengkomunikasikan berbagai gagasan dan usaha-usaha praktis Pembinaan Pembina Katekese Umat dari semua Komkat Keuskupan dan lembaga pendidikan Kateketik/Pastoral di Indonesia. Hasilnya diharapkan untuk dikembangkan di tempat masing-masing guna terlaksananya Katekese Umat secara merata, sampai pada kelompok umat basis.)
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-IV)
Lokasi : Hotel Dhyana, Denpasar-Bali
Waktu : 24-28 Oktober 1988
Tema : Membina Iman Yang Terlibat dalam Masyarakat
(isi pertemuan ini lebih menekankan pada evaluasi terhadap pelaksanaan 3 PKKI sebelumnya. Disadari bahwa banyak kendala yang menimbulkan kemandekan pelaksanaan Katekese Umat. Begitu juga Katekese Sekolah yang menjalankan pola PAK Malino 1981. Dalam kaitan dengan pola PAK, peserta juga mengevaluasi kurikulum PAK 1981 beserta buku-buku penjabarannya. Untuk itu sejak awal pertemuan, peserta diajak untuk memikirkan dan merefleksikan pertanyaan ini: “Bagaimana mengusahakan suatu katekese yang membina iman yang terlibat dalam masyarakat?”)
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-V)
Lokasi : Wsima Kinasih, Caringin-Bogor
Waktu : 22-30 September 1992
Tema : Beriman dalam Hidup Bermasyarakat: Tantangan bagi Katekese
(isi pertemuan ini menggarisbawahi bahwa PKKI V dilihat sebagai satu mata rantai saja dari suatu proses panjang untuk membuat katekese sungguh fungsional dalam pembentukan Gereja yang misioner di Indonesia ini. Kehadiran dan pembentukan misioner suatu Gereja lokal menjadi lebih kompleks. Namun apa yang dasariah dalam katekese tetap berlaku, yaitu: iman umat dibangun secara terarah, dalam perjumpaan dengan wahyu ilahi di tengah situasi masyarakat yang kongkrit.)
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-VI)
Lokasi : Wisma Samadi, Klender-Jakarta Timur
Waktu : 01-10 Oktober 1996
Tema : Menggalakkan Karya Katekese di Indonesia
(isi pertemuan ini menyoroti kembali soal Katekese Umat sebagai komunikasi iman dari suatu kelompok umat diharapkan bisa menghasilkan mutu hidup bergereja dan bermasyarakat yang lebih baik. Karena itu fokus pergumulan dalam PKKI ini adalah tentang Katekese Umat yang membangun jemaat dengan orientasi Kerajaan Allah.)
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-VII)
Lokasi : Sawiran, Jawa Timur
Waktu : 24-30 Juni 2000
Tema : Katekese Umat dan Kelompok Basis Gerejani
(isi pertemuan ini tentang Katekese Umat dalam hubungan dengan Gereja Lokal yang paling kecil, yaitu Kelompok Basis Gerejani yang cikal bakalnya sedang bertumbuh subur di banyak gereja di berbagai keuskupan kita saat ini. Selain membahas soal Katekese Umat dan Kelompok Basis Gerejani, juga dibicarakan soal revisi kurikulum PAK 1994)
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-VIII)
Lokasi : Wisma Misericordia
Waktu : 22-28 Pebruari 2004
Tema : katekese umat yang membangun hidup gereja (kbg) yang kontekstual
(isi pertemuan ini)
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se Indonesia (PKKI-IX)
Lokasi : Tomohon- Manado
Waktu : 17-23 Juni 2008
Tema : Katekese Dalam Masyarakat Yang Tertekan
isi pertemuan ini sbb :
1. Pengantar
– Pertemuan Kateketik Antarkeuskupan Se-Indonesia IX sudah terlaksana dengan baik dan lancar. Pertemuan yang diikuti oleh para utusan dari keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia ini mengambil tema: ”Katekese dalam Masyarakat yang Tertekan”. Masyarakat Indonesia yang mengalami ketertekanan dalam banyak bidang kehidupan menjadi alasan bagi Gereja Katolik untuk melakukan katekese yang memberi peneguhan, pencerahan, serta keberanian untuk bertindak mengatasi ketertekanan itu. Tema besar tersebut secara khusus diolah dengan mendalami tiga bidang kehidupan, yaitu bidang kemanusiaan, politik, dan hukum. Dari hasil pendalaman dan pengolahan tiga bidang tersebut akan disusun modul-modul katekese bagi empat kelompok umur, yaitu kelompok anak, remaja, orang muda, dan dewasa.
2. Penerusan iman
– Kotbah perayaan Ekaristi pembuka menggarisbawahi peran katekese sebagai upaya untuk meneruskan warisan iman dari generasi ke generasi. Santo Paulus memberikan pendasaran tentang hal tersebut melalui himbauannya kepada Timotius (2 Tim 3:10-17). Nasihat kepada sang penerus itu masih sangat relevan untuk kita perhatikan sampai saat ini. Sambil mengingat amanat agung Yesus Kristus kepada para murid-Nya (Mat 28:18-20) hendaknya panggilan penerusan iman itu tetap dikerjakan oleh umat Katolik sampai kapan pun.
3. Tema yang memiliki keberpihakan jelas
– Dengan mengambil fokus pendalaman tentang masyarakat yang tertekan sebagai tujuan kegiatan katekese di masa-masa mendatang, maka PKKI - IX ini lebih tegas menyatakan keberpihakannya. PKKI periode-periode sebelumnya masih secara stereotype merumuskan tema seputar katekese yang relevan atau kontekstual tanpa menyebut kondisi konkret masyarakat yang akan disapa.
Keberpihakan yang jelas itu akan dikonkretkan pula oleh Bimas Katolik Depag RI dengan mengambil langkah nyata menyalurkan dana sekitar 75% hingga 80% untuk pemberdayaan langsung di daerah-daerah. Kebijakan ini diambil untuk mendukung upaya pemerataan dan efisiensi pemanfaatan dana serta melakukan penggandaan pelaksana (multiplikasi pelaksana/ pelaku) peningkatan hidup beriman masyarakat Katolik di Indonesia.
4. Mencipta harmoni sosial
– Merupakan tugas para katekis untuk membantu masyarakat beragama menciptakan harmoni sosial. Jangan sampai keberadaan agama justru melemahkan upaya untuk mewujudkan harmoni sosial di tengah masyarakat. Kehidupan antarumat beragama yang harmonis merupakan dukungan nyata bagi pelaksanaan pembangunan daerah secara lebih optimal. Kerukunan antarumat beragama merupakan modal sosial yang sangat penting untuk mendukung terwujudnya pembangunan yang lebih berdaya guna bagi seluruh masyarakat.
5. Mengungkap fakta, memanfaatkan data
– Melalui pertemuan di kelompok regio yang terbagi dalam enam kelompok, peserta diajak untuk mengungkapkan fakta ketertekanan yang dialami masyarakat di wilayah asal para peserta. Regio yang dimaksud adalah regio Sumatera, Kalimantan, Manado Aamboina Makassar, Papua, Nusra, dan Jawa. Dengan bantuan tiga pertanyaan, para peserta menjalankan refleksinya.
Pertanyaan-pertanyaan panduan diskusi meliputi:
(1) Pengalaman-pengalaman apa yang terjadi di Keuskupan Anda yang berkaitan dengan masalah-masalah kemanusiaan, hukum, politik?;
(2) Tindakan-tindakan kateketis apa yang dilakukan oleh Keuskupan Anda menanggapi masalah-masalah tersebut?;
(3) Adakah indikasi keberhasilan dari tindakan-tindakan kateketis yang telah dilakukan? Dari hasil diskusi regio tersebut didapatkan data persoalan bidang kemanusiaan, hukum dan politik sebagai berikut:
6. Masalah Kemanusiaan
– Bidang kemanusiaan memiliki persoalan pokok: rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya kekerasan dalam hidup masyarakat (perampokan, penodongan, pembunuhan yang banyak disebabkan oleh tekanan ekonomi), kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan fisik, mental, seksual), perdagangan manusia (human trafficking, khususnya terhadap anak dan perempuan), kemiskinan yang terus meningkat jumlahnya, perusakan lingkungan hidup (penebangan hutan, pertambangan, pencemaran, sampah), penertiban wilayah perkotaan dengan mengesampingkan hak rakyat kecil (penggusuran PKL, anak jalanan), diskriminasi perlakuan antara penduduk asli dan pendatang, penghilangan hak hidup (aborsi, pembunuhan), poligami terselubung, keretakan relasi sosial dan persaudaraan karena tekanan ekonomi, pengangguran, kekerasan akibat pragmatisme politik, korupsi yang kian merata, dan kemerosotan tata nilai yang dianut masyarakat.
7. Masalah Hukum
– Dalam bidang hukum ditemukan persoalan-persoalan: otonomi khusus yang tidak mengakomodasi hak-hak rakyat/penduduk asli dan minimnya pelibatan masyarakat asli dalam pengambilan kebijakan pembangunan, hak atas tanah tidak diperhatikan oleh negara (status tanah pasca kerusuhan, penggusuran tanah untuk pembangunan), kasus-kasus suap yang merajalela mengesampingkan rasa keadilan, penerapan hukum yang diskriminatif, pelaksanaan UU No. 12/2006 tentang kependudukan dan kewarganegaraan yang tidak konsisten, SKB 2 Menteri No. 8 dan 9/2007 tentang kerukunan hidup umat beragama yang penerapannya diskriminatif, rendahnya kesadaran hukum masyarakat, fenomena berkuasanya uang dalam penyelesaian permasalahan hukum, pemaksaan hukum oleh kelompok mayoritas, dan pelarangan pembangunan rumah ibadah.
8. Masalah Politik
– Permasalahan di bidang politik meliputi: pemekaran wilayah yang diikuti oleh proses penempatan militer secara tidak proporsional, promosi jabatan lebih diutamakan untuk para pendatang, diskriminasi penerimaan guru agama Katolik sebagai PNS dan pengangkatan PNS di bidang non pendidikan yang mengutamakan kelompok agama tertentu, kemunculan ”agama baru” yang menciptakan kemungkinan konflik horizontal, pilkada yang kerap berakhir dengan kekerasan dan kerusuhan, politik uang dalam pelaksanaan pilkada, pemaksaan kehendak politik oleh kelompok mayoritas, kesadaran berpolitik yang masih rendah, keterlibatan dalam politik praktis dari tokoh agama yang memecah-belah umat, pelaksanaan otonomi daerah yang kebablasan dan sempit, minimnya tokoh awam katolik yang terjun dalam dunia politik praktis, dan banyaknya pejabat publik yang tidak bisa memilah antara kepentingan publik dengan kepentingan pribadi.
9. Upaya Kateketis dan Indikasi keberhasilan tindakan kateketis
– Untuk menanggapi masalah-masalah sosial kemanusiaan, hukum dan politik tersebut, masing-masing keuskupan telah menempuh beberapa tindakan kateketis berikut ini: Pendalaman iman lingkungan, sosialisasi gerakan tani organik, sosialisasi penanganan sampah, sosialisasi kredit union, seminar kebersamaan umat beragama, sosialisasi pendidikan politik, penyusunan bahan-bahan pendalaman iman, keterlibatan dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pemutaran film global warming di sekolah-sekolah, kerasulan buku untuk pejabat pemerintah atau para tokoh agama, dan penggalakan penggunaan multi media. Upaya katekese tersebut secara perlahan mulai menumbuhkan kesadaran dalam diri umat akan perlunya pembenahan paradigma dan perilaku dalam berbagai bidang kehidupan yang selama ini keliru.
10. Realistiskah katekese politik?
– Perubahan dramatik di bidang politik memerlukan suatu tindakan penyikapan tersendiri.. Praktek politik machiavellistis yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan telah mengkhianati semangat dasar politik yang pada hakekatnya merupakan suatu seni mengatur kehidupan bersama guna mewujudkan kesejahteraan umum (bonum commune). Terhadap praktek politik yang jauh dari ideal itu, setiap orang Katolik dipanggil untuk ambil bagian dalam mencari jalan atau cara untuk terlaksananya pelaksanaan kehidupan politik yang manusiawi. Keterlibatan dalam dunia politik merupakan panggilan yang mendesak untuk diperhatikan oleh umat Katolik. Katekese politik memiliki peran yang sangat sentral untuk membarui paradigma berpolitik yang ada sekarang ini. Katekese politik di kalangan orang muda misalnya, dimaksudkan untuk mengolah mental, spiritual, dan moral orang muda agar dapat menghadapi godaan politik dan ekonomi uang. Katekese bagi para aktivis politik atau para politisi dimaksudkan untuk menguatkan mereka dalam mempertahankan integritas, kejujuran, dan idealisme melawan pragmatisme dan politik uang. Pembaruan paradigma seperti itu tidak bisa dilakukan sepihak hanya di dalam kelompok umat Katolik melainkan harus ada pembaruan melalui afiliasi lintas kelompok (cross cutting affiliation). Pendidikan atau katekese politik harus diberikan sejak usia dini supaya terbentuk mentalitas politik yang sehat.
11. Peran warga negara dalam negara yang berdasarkan atas hukum di Indonesia
– Ada permasalahan mendesak dalam bidang hukum yaitu perlunya dilaksanakan pendidikan hukum bagi masyarakat. Masyarakat harus mendapatkan pengetahuan tentang hukum agar mampu mengawal proses perumusan hukum (undang-undang), siap mematuhi hukum dengan didasari oleh kesadaran, kebebasan, dan rasa tanggungjawab. Dalam proses penyusunan atau pembentukan hukum, kepada masyarakat, khususnya yang akan terkena dampak pemberlakuan hukum tersebut, harus dilakukan sosialisasi sehingga mereka mengetahui akibat atau implikasi dan juga mendapat kesempatan untuk memberi usulan atau masukan yang sesuai dengan harapan mereka. Kemendesakan katekese di bidang hukum juga dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa banyak masyarakat telah menjadi korban hukum, proses perumusan yang manipulatif pada tahapan-tahapan yang dilalui, dan masyarakat kerap di-fait a compli oleh lahirnya suatu hukum baru. Pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan dan juga fungsi pengawasan dalam pelaksanaan dimaksudkan agar penegakkan supremasi hukum dapat menjadi nyata.
12. Dimana dan kemana kemanusiaan kita?
- Sebuah pertanyaan yang mengisyaratkan bahwa sehubungan dengan kemanusiaan ada masalah besar yang harus dipecahkan. Pijakan dan arah pengembangan kemanusiaan seringkali dikaburkan oleh tindakan-tindakan yang melawan dan menghancurkan kemanusiaan itu. Visi kemanusiaan yang benar dan baik harus sungguh-sungguh dikuatkan. Kemanusiaan pertama-tama harus dilihat sebagai visi, sudut pandang, dan sekaligus nilai luhur yang mengajarkan kita untuk memperlakukan setiap orang pertama-tama dan terutama sebagai manusia, sama seperti kita; bukan pertama-tama dan terutama sebagai orang lain (the other) dalam jerat kesukuan, ras, kebangsaan, kelas sosial, agama, keyakinan, ideologi, partai atau kategori-kategori lain yang mereduksi keluhuran kemanusiaannya. Maka segala bentuk kekerasan yang terus dialami oleh sebagian anak manusia di muka bumi ini merupakan bentuk penindasan yang harus dihapuskan. Banyaknya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam masyarakat yang marak dalam bentuk perdagangan manusia serta kekerasan kriminalitas. Pengembangan visi kemanusiaan dalam konteks keindonesiaan harus kita tempatkan dalam bingkai sila kedua Pancasila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”.
13. Prioritas masalah masing-masing bidang
– Prioritas masalah di bidang kemanusiaan ialah rendahnya penghargaan terhadap martabat pribadi manusia, kerusakan lingkungan hidup serta kemiskinan. Dalam bidang hukum yang merupakan prioritas masalah adalah diskriminasi hukum, pengabaian hak-hak rakyat serta rendahnya kesadaran hukum pada masyarakat. Sementara itu di bidang politik yang merupakan prioritas masalah adalah rendahnya pengetahuan dan kesadaran politik di antara umat Katolik, penerapan sistem politik yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, serta kurangnya figur politik yang dapat diteladani.
14. Mencita-citakan perubahan
– Berhadapan dengan masalah-masalah itu, dirumuskan target perubahan dalam diri umat Katolik dalam jangka empat tahun mendatang. Dalam bidang kemanusiaan dicita-citakan tumbuhnya pengenalan, penyadaran dan penghargaan martabat pribadi manusia terutama berkaitan dengan kesederajatan laki-laki dan perempuan, pembelaan terhadap kehidupan dan hidupnya kembali nilai-nilai persaudaraan dalam masyarakat; tumbuhnya kesadaran dan penghargaan akan kelestarian lingkungan yang diikuti dengan upaya penanaman kembali hutan serta pengelolaan sampah secara berdaya guna; meningkatnya solidaritas warga masyarakat dengan mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Dalam bidang hukum dicita-citakan berkembangnya masyarakat sadar hukum yang berani menyuarakan dan membela hak-haknya. Dalam bidang politik dicita-citakan tumbuhnya kesadaran akan panggilan umat beriman dalam bidang politik yang dinyatakan dengan meningkatnya rasa tanggung jawab dan kecintaan umat beriman terhadap bangsa dan negara, keterlibatan semakin banyak umat katolik sehingga dapat mempengaruhi sistem politik dan pengambilan kebijakan publik, serta munculnya kader-kader politik yang berkualitas di antara umat.
15. Target empat tahun ke depan
– Berpangkal dari target perubahan dalam diri umat beriman empat tahun ke depan, dirumuskan profil (gambaran) umat beriman yang dicita-citakan, sesuai dengan kelompok umur dalam bidang kemanusiaan, hukum maupun politik.
15.1. Anak (0-10 th)
a. Dalam bidang kemanusian dicita-citakan anak yang sadar bahwa dirinya dan semua manusia diciptakan dan dicintai oleh Tuhan, mampu menghargai dan merawat kehidupan, mampu terlibat dalam kehidupan Gereja, mampu menawarkan nilai-nilai kehidupan pada teman-temannya, bersikap jujur dan mempunyai penghargaan terhadap makanan-makanan lokal.
b. Dalam bidang hukum dicita-citakan anak yang mengenal diri, serta hak dan kewajibannya, mengenal dan melaksanakan tata hidup bersama dalam keluarga dan masyarakat, serta terlibat dalam menentukan tata hidup bersama dalam masyarakat, dan berani menyuarakan yang benar.
c. Dalam bidang politik dicita-citakan anak yang mampu berpikir dan mengambil keputusan secara mandiri dan bertanggungjawab, menyadari keunikan dirinya, bebas dan berani mengungkapkan pendapat serta mampu belajar nilai-nilai kehidupan dari masyakarat.
15.2. Remaja (11-15 th)
a. Dalam bidang kemanusiaan dicita-citakan seorang remaja yang mampu menghargai diri dan sesama, mampu bekerjasama, cinta kehidupan dan menghargai kelestarian lingkungan, bersemangat aktif tanpa kekerasan (active non violence), serta mempunyai kesetia-kawanan dengan mereka yang berkekurangan.
b. Dalam bidang hukum dicita-citakan remaja yang mengetahui dan memahami hak dan kewajibannya serta menghayatinya sebagai orang beriman dalam hidup sehari-hari.
c. Dalam bidang politik dicita-citakan hadirnya seorang remaja yang bercirikan pribadi yang cinta bangsa, negara dan Gereja, terlibat dan mampu berorganisasi, berpikir kritis, berpikir global dan bertindak lokal (think globaly, act localy), dan mempunyai jiwa kepemimpinan serta mampu bersikap sportif.
15.3. Orang muda (16-23 th)
a. Dalam bidang kemanusiaan dicita-citakan orang muda yang memiliki kesadaran akan jatidirinya sebagai citra Allah, memiliki kesadaran bahwa alam dan lingkungan adalah bagian dari dirinya, serta memiliki kecerdasan, kreativitas, kemandirian, solidaritas dan pola hidup sederhana.
b. Dalam bidang hukum dicita-citakan orang muda yang sadar hukum dan mampu meneladan Kristus yang memiliki keberanian dalam menyuarakan haknya dan hak sesamanya secara bertanggungjawab.
c. Dalam bidang politik dicita-citakan orang muda yang memiliki kerangka berpikir politik yang didasari prinsip solidaritas, subsidiaritas serta bonum commune (kesejahteraan umum), serta terlibat aktif dalam hidup masyarakat.
15.4. Orang dewasa (24th ke atas)
a. Dalam bidang kemanusiaan dicita-citakan orang dewasa yang menghargai martabat pribadi manusia, cinta lingkungan, peduli sesama, menjunjung tinggi kearifan lokal serta terbuka dan mampu bekerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki kehendak baik.
b. Dalam bidang hukum dicita-citakan orang dewasa yang sadar hukum, tahu tentang hak dan kewajibannya, berani menyuarakan kebenaran dan keadilan serta berani membela kebenaran dan keadilan.
c. Dalam bidang politik dicita-citakan orang dewasa yang ambil bagian secara aktif dan bertanggungjawab dalam kehidupan masyarakat, menggunakan hati nuraninya untuk menentukan pilihan politiknya, berani menyampaikan suaranya melalui jalur-jalur yang benar, dan dengan demikian memunculkan kader-kader Katolik yang menghayati, memperjuangkan dan mengamalkan nilai-nilai Kristiani di manapun tempat mereka menyalurkan aspirasi politiknya, sehingga tata dunia sungguh dikelola berdasarkan nilai-nilai injili.
16. Tindak lanjut
– Profil umat beriman Kristiani menurut kategori umur dan bidang seperti terangkum di atas merupakan dasar untuk menyusun tujuan, tema-tema serta gagasan dasar katekese yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan peranserta umat dalam mewujudkan habitus baru hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui keterlibatan dalam soal-soal kemanusiaan, hukum dan politik. Harapannya, masing-masing keuskupan ataupun regio menjabarkannya sesuai dengan konteks masing-masing dengan bantuan Komkat KWI.
17. Penutup
– Demikianlah rangkuman singkat hasil PKKI IX. Semoga pokok-pokok pemikiran yang terangkum dalam ringkasan ini memberikan percik-percik panduan untuk menindaklanjuti upaya penyusunan bahan katekese yang lebih lengkap dan aplikatif.
Semoga Allah yang telah memulai karya baik di dalam diri kita berkenan menyelesaikannya pula (bdk. Flp 1:6).
Tuhan memberkati usaha kita bersama.
PERTEMUAN KATEKETIK ANTAR KEUSKUPAN SE-INDONESIA X
Lokasi : Wisma Shalom, Cisarua, Bandung Barat
Waktu : 10 – 16 September 2012
Tema : ”KATEKESE DI ERA DIGITAL”
Peran Imam dan Katekis dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital
A. PENGANTAR
PERTEMUAN KATEKETIK ANTAR KEUSKUPAN SE-INDONESIA (PKKI) diselenggarakan Komisi Kateketik KWI setiap tiga atau empat tahun sekali. PKKI diselenggarakan pertama kali pada tahun 1977. PKKI X diselenggarakan di Wisma Shalom, Cisarua, Bandung Barat, pada tanggal 10 – 16 September 2012. PKKI X ini dihadiri wakil-wakil Komisi Kateketik Keuskupan-keuskupan se-Indonesia dan lembaga-lembaga pendidikan kateketik. Hadir pula sebagai undangan khusus perwakilan dari Komisi Seminari KWI, imam-imam wakil setiap regio keuskupan, Sekretaris Eksekutif KWI dan beberapa undangan lainnya. Pada saat pembukaan, hadir wakil dari Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama RI.
B. TEMA
PKKI sebagai pertemuan kateketik tingkat nasional selalu mengangkat tema yang aktual dalam karya katekese Gereja Indonesia. PKKI X ini mengangkat tema: “KATEKESE DI ERA DIGITAL: Peran Imam dan Katekis Dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital”. Tema ini dicetuskan dalam Rapat Pengurus Lengkap Komkat KWI pada tanggal 5-7 Mei 2011 berdasarkan kesadaran bahwa saat ini Gereja Indonesia menghadapi situasi zaman baru, yaitu era digital. Situasi ini memengaruhi pola pikir, cara hidup dan pola relasi umat beriman, yang tentu saja juga melibatkan karya Katekese.
Tujuan diangkatnya tema tersebut dalam PKKI X adalah agar para pelaku katekese, baik imam maupun katekis, menyadari berkembangnya sarana komunikasi digital dan pengaruhnya dalam budaya kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesadaran tersebut diharapkan membawa pada gagasan, pemikiran serta perencanaan katekese yang tepat guna dalam menjawab kebutuhan Gereja Indonesia di era digital sekarang ini.
C. PROSES PERTEMUAN
PKKI X dibuka dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. John Liku Ada’, Ketua Komkat KWI. Dalam homilinya, beliau mengingatkan peserta PKKI X akan tema yang diangkat dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010, yaitu Gereja yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus dalam konteks Indonesia. Mengisahkan kabar gembira Yesus Kristus salah satunya ditempuh dengan ber-katekese. Karya katekese merupakan tugas utama dan pertama dari para Uskup (CD 12). PO art. 4 mengatakan: “…para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang…”. Karena itulah, subtema PKKI X adalah peran Imam dan katekis dalam karya katekese di era digital. Situasi zaman sekarang memberi tantangan tersendiri bagi Gereja dalam melaksanakan tugas mewarta. Era digital membawa situasi berbeda yang harus ditanggapi sehingga Gereja tetap bisa berkatekese dengan baik.
Setelah mengevaluasi pelaksanaan hasil PKKI IX, kami mulai mengolah tema PKKI X dengan bertolak dari penyadaran pengalaman nyata penggunaan teknologi digital untuk kegiatan pembinaan iman di masing-masing Keuskupan. Selanjutnya, pemahaman era digital didalami bersama Bpk. Idi Subandy Ibrahim (pakar media); sedangkan penggunaannya dalam karya pastoral Gereja didalami bersama Bpk. Matias Haryadi dan Bpk. G. Abdi Susanto (pengelola website sesawinet), RP. Ant. Suhud, SX (praktisi pengguna sarana digital untuk karya pastoral), serta RP. Y. Iswarahadi, SJ (direktur Studio Audio Visual Pusat Kateketik Yogyakarta). Penggunaan media digital dalam karya pastoral Gereja ini diterangi oleh ajaran Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI yang disampaikan oleh RP. C.B. Putranto, SJ (direktur Pusat Kateketik Yogyakarta). Proses pengolahan tema PKKI X kami lanjutkan dengan diskusi kelompok mengenai tantangan era digital bagi kehidupan Gereja. Refleksi ini kemudian dibantu dengan belajar dari media film “Artificial Intelligence” yang didalami dengan tulisan Ibu Yap Fu Lan (dosen kateketik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya). Kemudian kami pun berdiskusi untuk menyusun profil katekese di era digital serta peran imam dan katekis dalam katekese di era digital.
Proses kami lanjutkan dengan merumuskan tindak lanjut PKKI X di masing-masing Regio dan rekomendasi bagi karya katekese Gereja Katolik Indonesia di era digital.
D. PENGALAMAN PENGGUNAAN SARANA DIGITAL DALAM KARYA KATEKESE DI INDONESIA
Berdasarkan pengalaman peserta PKKI X di masing-masing Keuskupan, disadari bahwa orang zaman sekarang tidak lepas dari teknologi digital. Teknologi digital sungguh dirasakan menjadi sarana yang memberi berbagai kemudahan, terutama dalam dunia komunikasi, memperlancar pekerjaan, dan memperpendek jarak. Disadari pula bahwa teknologi digital sungguh mengubah perilaku.
Beberapa Keuskupan telah mulai memanfaatkan media digital untuk karya pewartaan. Beberapa cara yang ditempuh adalah renungan lewat SMS dan BBM, radio streaming, dan HP Keuskupan.
Era digital adalah situasi baru yang ditandai oleh maraknya penggunaan berbagai sarana teknologi digital sehingga jarak waktu dan tempat semakin kecil. Situasi baru yang tidak bisa dihindari ini mengubah karakteristik budaya, perilaku dan cara berkomunikasi manusia. Corak mencolok dari era digital adalah ‘global’, mendunia, orang yang hidup dalam sebuah desa besar, di mana sekat-sekat yang memisahkan kapling-kapling individual teritorial seperti diruntuhkan. Dalam era digital, orang mendapati dirinya di tengah seluruh dunia. Berikut beberapa karakteristik dari era digital yang kami temukan dalam diskusi.
1. Informasi yang berlimpah
Dunia komunikasi digital lewat internet membuka gudang informasi yang tadinya tidak terjangkau oleh banyak orang. Sekarang, tiba-tiba orang dihadapkan pada melimpahnya informasi. Informasi itu tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga berupa gambar, animasi, video dan produk auditif. Orang berhadapan dengan tersedianya informasi melimpah yang muncul mengenai segala segi dari suatu topik. Di sini, informasi bisa bersumber dari siapa saja dan tanpa filter. Dalam situasi ini, ada nuansa egaliter namun otoritas juga bisa menjadi kabur. Oleh karenanya, teramat pentinglah untuk jeli melihat kredibilitas sumber informasi beserta segala latar belakangnya.
2. Relasi yang langsung namun bercorak sepintas dan dangkal
Internet juga membuka kemungkinan yang amat luas untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang barangkali belum pernah dijumpai secara fisik. Relasi ini ditandai oleh kontak-kontak virtual, entah berupa e-mail, status dalam facebook atau twitter beserta komentar dan tanggapannya. Tanpa harus bertemu muka, orang bisa berelasi secara langsung, tetapi relasi ini juga bercorak sepintas dan dangkal. Kontak ini bersifat interaktif karena bisa saling menanggapi dari tempat yang jauh. Yang jauh menjadi dekat, namun bisa juga yang dekat malah menjadi jauh. Di satu pihak, dengan sarana digital orang bisa berkomunikasi secara real time dengan orang yang jauh jaraknya. Di lain pihak, kadang terjadi pula bahwa beberapa keluarga menjadi dangkal relasinya karena masing-masing anggota keluarga asyik dengan dunia virtualnya. Hal yang sama juga melanda orang muda. Era digital membentuk karakteristik orang muda yang patut diakui kekuatan positifnya namun juga perlu diwaspadai dampak negatifnya.
Penampilan atau permukaan menggantikan kedalaman, kecepatan menggantikan refleksi yang mendalam. Internet menyajikan beribu fakta namun sedikit sekali bicara tentang nilai. Generasi yang sejak kecil biasa bergaul dengan internet akan mengalami pembentukan pengetahuannya sebagai rangkaian perjumpaan secara audio-visual yang diperoleh dengan cepat, dan tidak lagi lewat proses penalaran. Dengan hadirnya ‘mesin pencari’ seperti Google dan Yahoo, internet menjadi wadah tanya jawab tentang segala macam persoalan. Karena jawaban ada bermacam-macam dan itu pun diberikan secara cepat, orang tidak berkesempatan atau kurang menyediakan waktu untuk masuk lebih dalam; banyaknya informasi menjadi lebih penting daripada kedalamannya. Pola pikirnya pun cenderung melompat-lompat.
Di dalam era digital, bahasa yang paling menyentuh adalah bahasa audio-visual yang lebih menyapa emosi. Karena menggunakan bahasa gambar yang menyentuh, penyampaian unsur-unsur emosional menjadi lebih kaya. Dalam dunia komunikasi virtual terciptalah macam-macam kosakata baru yang belum ada dalam bahasa bakunya, seolah-olah tidak ada wewenang linguistik yang mengatur pembakuannya.
5. Manusia yang cenderung semakin tidak manusiawi
Dalam pola-pola relasi dan cara berkomunikasi di era digital, manusia cenderung memperlakukan dirinya dan orang lain bukan sebagai manusia melainkan sebagai benda ataupun robot. Manusia juga kehilangan salah satu inti hidupnya, yaitu keheningan.
Karakteristik era digital di atas menimbulkan tantangan-tantangan bagi cara orang berkomunikasi: komitmen, ketulusan, keterlibatan dan kesetiaan. Komunikasi lewat media digital berlangsung tanpa perjumpaan fisik orang-orang yang terlibat. Ini berarti bahwa orang hanya mengandalkan apa yang didengar, ditulis atau ditampilkan di atas sarana digital. Selebihnya, orang tidak bisa langsung tahu apakah yang didengar, ditulis atau ditampilkan itu sejujurnya merupakan kebenaran atau tidak; apakah partner komunikasi lewat sarana digital tersebut bisa diandalkan komitmen maupun keterlibatannya, apalagi kesetiaannya. Era digital juga membangun komunitas-komunitas virtual dari kalangan publik yang memanfaatkan media digital. Komunitas-komunitas virtual ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan komunitas-komunitas riil.
F. REFLEKSI TEOLOGIS
Di era digital sekarang ini, banyak orang mengalami sapaan, sentuhan dan perjumpaaan dengan Tuhan baik melalui dunia riil maupun dunia virtual. Yang dimaksud dengan dunia virtual adalah perjumpaan-perjumpaan yang difasilitasi oleh sarana-sarana digital, misal HP, BB, CD, video, animasi, website, blog, maupun jejaring sosial internet, misal BBM, Mailist, Twitter, Facebook, Multiply, MySpace. Kehadiran, keberadaan dan berbagai kemudahan perjumpaan yang ditawarkan sarana-sarana teknologi digital yang ada sekarang ini diharapkan bisa semakin memudahkan dan menolong banyak orang berjumpa dengan Tuhan dan sesama.
Gereja terus mengajak umat beriman untuk tidak takut memanfaatkan sarana-sarana digital, misalnya internet: “Tinggal di belakang akibat ketakutan akan teknologi atau oleh suatu sebab lain merupakan sikap yang tidak dapat diterima, mengingat begitu banyaknya kemungkinan positif yang terkandung dalam internet” (Komisi Kepausan untuk Komunikasi Sosial, 2002). Hal ini ditegaskan kembali oleh Paus Benediktus XVI dalam seruannya pada Hari Komunikasi Sedunia yang ke-44 tahun 2010: “Dunia komunikasi digital, dengan segala kemampuannya untuk berekspresi nyaris tanpa batas, membuat kita lebih menghargai seruan Paulus: ‘Celakalah aku bila aku tidak mewartakan Injil!’ [1Kor 9:16]”. Karena itu Gereja menerima dengan gembira dan memandang budaya digital sebagai anugerah Allah sehingga mau memanfaatkan dan menjadikannya sebagai medan perjumpaan dengan Allah.
Katekese merupakan komunikasi iman, baik pengetahuan maupun pengalaman iman, untuk meneguhkan, menghayati dan mengembangkan iman sampai terbentuk perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Di era digital, proses katekese mengintegrasikan budaya digital dan dapat menggunakan teknologi digital atau wahana virtual sebagai sarana untuk berkatekese. Tanpa meninggalkan ciri-ciri katekese sebagaimana telah dirumuskan mulai PKKI II dan seterusnya, katekese di era digital perlu lebih berciri interaktif, informatif, inklusif dan dialogal.
Katekese di era digital perlu mengembangkan pola inkarnatoris yang mulai dengan perjumpaan penuh penghargaan terhadap budaya yang sedang berkembang dan kemudian mengakrabkan diri dengan ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom dari budaya tersebut. Ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom di era digital ditandai oleh kelimpahan, keterjangkauan, dan bersifat langsung. Kelimpahan berarti sangat banyaknya informasi yang masuk dan bisa diakses. Keterjangkauan berarti mudah dijangkaunya berbagai informasi yang dibutuhkan. Bersifat langsung berarti informasi dapat diperoleh tanpa melalui perantara, cukup dengan browsing melalui sarana digital.
Era digital memunculkan cara pewartaan baru, misalnya 'katekese online'. Katekese online bisa dilakukan dengan memanfaatkan media jejaring sosial, Skype, atau media teleconference lainnya.
Dampak era digital paling terasa dalam relasi dalam unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Dan yang paling cepat menyerap budaya digital adalah orang muda. Maka pembinaan pada mereka ini semakin mendesak bagi katekese. Dengan demikian, katekese di era digital harus memberi perhatian dan pengakuan pada keluarga dan orang muda.
Mengingat bahwa di era digital manusia cenderung memperlakukan dirinya maupun orang lain sebagai robot, maka katekese harus menekankan dimensi keutuhan manusia sebagai makhluk spiritual. Paus Benediktus XVI menunjukkan dua jalan untuk menghidupkan dimensi spiritual, yaitu dengan terlibat sebagai pribadi dan masuk ke dalam keheningan (bdk. Pesan Paus Benediktus pada Hari Komunikasi Sedunia 2011 dan 2012). Maka katekese harus membantu orang ke arah tersebut.
H. PERAN IMAM DAN KATEKIS
Dalam katekese di era digital, selain tetap mempertahankan peran konvensionalnya dalam karya katekese, imam dan katekis harus berani masuk juga ke dunia digital dan mewarnainya. Imam dan Katekis diharapkan menguasai media, bahasa dan cara berkomunikasi di era digital; tidak hanya menjadi pengguna sarana digital, khususnya internet, namun juga memberi kontribusi dan inspirasi visioner. Imam dan Katekis diharapkan bisa menjadi moderator komunitas virtual dan bisa menggerakkan umat beriman di komunitas virtual untuk sampai pada perjumpaan yang nyata. Imam dan katekis pun harus bisa menjadi teladan dalam hidup beriman di era digital.
Kami menggarisbawahi beberapa peran khas Imam dan Katekis dalam karya katekese di era digital sebagai berikut.
1. Peran Imam
a. Ambil bagian dalam tugas Uskup untuk menjaga tradisi iman dan nilai moral Kristiani.
b. Penanggungjawab pertama katekese di wilayah/ruang lingkup pastoral yang dipercayakan kepadanya.
c. Pendamping para katekis dalam pelaksanaan karya katekese di era digital
d. Katekisnya para katekis.
2. Peran Katekis
a. Fasilitator, dinamisator, animator, komunikator yang mengantar peserta katekese pada perjumpaan dengan Allah.
b. Teman seperjalanan bagi semua orang untuk menemukan Allah.
c. Mitra kerja para imam dalam karya katekese di era digital.
I. REKOMENDASI
1. KWI diharapkan agar:
a. Menerbitkan pedoman penggunaan media digital dalam karya katekese.
a. Mensosialisasikan hasil PKKI X secepat mungkin.
c. Mengembangkan katekese di era digital beserta wahananya: pedoman pelaksanaan katekese di era digital, website, bank data.
d. Memfasilitasi pelatihan bagi para imam dan katekis untuk menggunakan alat-alat digital bagi pengembangan iman umat.
f. Bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bimas Katolik Kemenag RI dalam pengembangan katekese berbasis media.
g. Mengusulkan kepada KWI untuk menetapkan bulan Katekese.
3. Para Uskup di Keuskupannya diharapkan agar:
a. Mendukung implementasi hasil-hasil PKKI X.
a. Mengevaluasi secara berkala implementasi hasil PKKI X di masing-masing keuskupan.
b. Mengadakan pertemuan Komkat Regio secara berkala.
c. Menyelenggarakan lokakarya untuk merumuskan tema-tema tertentu dalam katekese di era digital, khususnya katekese digital yang menyapa keluarga dan orang muda.
5. Komkat Keuskupan diharapkan agar:
a. Mensosialisasikan dan mengimplementasikan hasil PKKI X di tingkat keuskupan.
b. Mengevaluasi secara berkala implementasi hasil PKKI X.
c. Menyusun modul katekese di era digital, khususnya katekese digital yang menyapa keluarga dan orang muda.
e. Bekerjasama dengan komisi-komisi lain dalam pengembangan karya katekese di era digital.
f. Bekerjasama dengan Bimas Katolik di wilayahnya dalam pengembangan katekese berbasis media.
6. Lembaga Kateketik dan Pendidikan Teologi diharapkan agar:
a. Memasukkan katekese di era digital dalam Kurikulum Pendidikan.
a. Ambil bagian dalam implementasi hasil PKKI X.
J. PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH
Demikianlah hasil akhir dan rekomendasi PKKI X. Semoga pokok-pokok pemikiran yang terangkum di sini memberikan arah pengembangan karya katekese di era digital.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dalam dan mendukung terlaksananya PKKI X.
“Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!” (Kis 18:9)
(Makassar 29 Agustus s.s. 2 September 2016)
Sub Tema: “Melalui Sarana Digital, Gereja Mengembangkan Pembinaan Iman Keluarga
Dalam Masyarakat Mejemuk”
Karena itulah maka tugas menyelenggarakan pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga yang utama (GE. 3). Keluarga mempunyai hak dan kewajiban untuk membentuk anak-anak menjadi pribadi yang dewasa.
PKKI XI ini dapat menjadi momen perjumpaan penting bagi para pengurus Komisi Kateketik seluruh Indonesia untuk saling berbagi, dan saling menguatkan dalam karya katekese Gereja Katolik Indonesia, khususnya membangun iman keluarga sebagai fondasi masyarakat yang terus mengalami perubahan dan melalui sarana digital, Gereja Katolik Indonesia dapat mengembangkan pembinaan iman keluarga dalam masyarakat mejemuk.
Mat. 28: 19; “Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”
Dekrit Inter Mirifica (IM) art.3: Gereja Katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang; maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya, untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan Warta Keselamatan, dan mengajarkan, bagaimana manusia dapat memakai media itu dengan tepat.
Program Kerja berkala Komisi Kateketik KWI 4 tahunan: Mengevaluasi kembali PKKI sebelumnya dan merencanakan bersama karya katekese bagi Gereja Katolik Indonesia empat tahun yang akan datang.
-Saling berbagi pengalaman hidup tentang karya katekese masing-masing, khususnya katekese keluarga di era digital untuk memperkaya konsep katekese umat.
-Memperoleh masukan, wawasan tentang Iman Keluarga sebagai Fondasi Masyarakat yang terus berubah”
-Memperoleh masukan, wawasan tentang melalui sarana digital, Gereja mengembangkan pembinaan iman keluarga dalam masyarakat mejemuk
“Iman Keluarga: Fondasi Masyarakat Yang Terus Berubah”
“Melalui Sarana Digital, Gereja Mengembangkan Pembinaan Iman Keluarga Dalam Masyarakat Majemuk”
Sharing pengalaman:
-Sharing dari setiap keuskupan/regio tentang karya katekese masing-masing, khususnya katekese keluarga di era digital.
-Sharing keluarga tentang menggunakan digital sebagai sarana komunikasi dan pendidikan iman dalam keluarga.
Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia ke sebelas (PKKI XI)
Lokasi : Makassar
Waktu : 29 Agustus s.d. 2 September 2016
Tema : “Iman Keluarga: Fondasi Masyarakat yang terus berubah”
Sub Tema: “Melalui Sarana Digital, Gereja Mengembangkan Pembinaan Iman Keluarga dalam Masyarakat Mejemuk”.
Berikut TOR ( term of reference) PKKI XI yang akan dilaksanakan pada pekan depan yang dihadiri sekitar 100 orang katekis profesional dari seluruh Indonesia yang mewakili Komkat Keuskupan dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi kateketik/pastoral serta tokoh-tokoh awam Katolik yang menjadi narasumber dan pendamping PKKI XI.
1.PENDAHULUAN
Dampak era digital paling terasa dalam relasi unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Kita mengetahui bahwa yang paling cepat menyerap budaya digital adalah orang muda. Maka pembinaan melalui katekese, terutama katekese digital bagi keluarga semakin mendesak.
Keluarga sering disebut sebagai Gereja Kecil, paguyuban orang beriman dalam jumlah yang paling kecil. Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya, Familiaris Consortio menyebut keluarga sebagai ecclesia domestica (Gereja Keluarga). Gereja kecil ini dipanggil mewartakan dan memberi kesaksian imannya melalui kesaksian hidup sehari-hari selaras dengan imannya. Dalam keluarga pula seorang melalui hidupnya di dunia dan mulai dibina agar bisa mengembankan dirinya menuju kesempurnaan hidup seutuhnya, termasuk kehidupan berimannya. Peran bapak-ibu sangat penting dalam keluarga. Mereka dipanggil dan diutus untuk menjadi sakramen kasih Allah kepada manusia, yang dapat mereka jalankan antara lain dengan mengusahakan terjadinya hubungan yang baik antar anggota keluarga atas dasar kasih yang sejati dan dengan mendidik anak-anak mereka agar menjadi manusia dewasa seutuhnya.
Dalam menjalankan tugas sebagai pendidik, bapak – ibu tidak jarang menghadapi tantangan era atau jaman yang tidak ringan. Pada era sekarang kemajuan teknologi dalam komunikasi virtual menyuguhkan kemudahan dan sekaligus tantangan bagi kehidupan orang-orang di era digital ini. Kemudahan dan tantangan ini disuguhkan bukan hanya bagi hidup duniawi, tetapi juga bagi hidup beriman. Bapak-ibu dalam kerja sama dengan Gereja perlu membimbing dan mengajari anak-anak mereka bagaimana dapat hidup secara bijak dan baik sebagai orang beriman dalam budaya digital ini.
Di samping itu, sebagai suatu lembaga, keluarga wajib mempersiapkan anak-anak menjadi pribadi yang peduli terhadap masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia yang sangat majemuk atau plural dari segi suku, agama, budaya dan sebagainya. Maka keluarga merupakan jembatan antara setiap anak dan masyarakat. Keluarga menjadi “sekolah keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan masyarakat”(FC. 36), tempat anak-anak dapat belajar tentang tata nilai dalam masyarakat (moralitas). Semua anggota keluarga, masing-masing menurut kemampuan dan kharismanya, mempunyai rahmat dan tanggung jawab untuk membimbing anak-anak. Pendidik yang paling utama dan pertama bagi anak-anak adalah orang tua. Mereka telah menyalurkan kehidupan baru kepada anak-anak. Maka mereka jugalah yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak (GS. 50, GE 3).
Gereja mempunyai kewajiban untuk membantu bapak-ibu dan juga anak-anak mereka dalam keluarga agar mereka dapat menghayati hidup beriman dengan bijak dan bertanggungjawab di tengah-tengah budaya digital ini. Bantuan itu diberikan antara lain melalui katekese umat.
Bertitik tolak dari latarbelakang pemikiran di atas maka Komisi Kateketik KWI menyelenggarakan PKKI XI dengan tema: “Iman Keluarga: Fondasi Masyarakat yang terus berubah” dan sub tema: “Melalui Sarana Digital, Gereja Mengembangkan Pembinaan Iman Keluarga dalam Masyarakat Mejemuk”
2.DASAR PELAKSANAAN
Dasar pelaksanaan kegiatan Pertemuan:
3. TUJUAN
Melalui pertemuan ini para pengurus Komisi Kateketik Keuskupan dapat:
4.HASIL
Setelah pertemuan ini para pengurus Komkat Keuskupan se-Indonesia menyusun rencana aksi untuk tugas pewartaan/katekese keluarga dengan menggunakan sarana digital di keuskupan/regio masing-masing
5.TEMA DAN SUB TEMA
Tema PKKI XI ini adalah: “Iman Keluarga: Fondasi Masyarakat Yang Terus Berubah”
Sub tema PKKI XI ini adalah: “Melalui Sarana Digital, Gereja Mengembangkan Pembinaan Iman Keluarga Dalam Masyarakat Majemuk”
6.MATERI
Sharing pengalaman:
-Sharing dari setiap keuskupan/regio tentang karya katekese masing-masing, khususnya katekese keluarga di era digital.
-Sharing keluarga tentang menggunakan digital sebagai sarana komunikasi dan pendidikan iman dalam keluarga.
-Gagasan katekese baru di era digital
-Problematik katekese keluarga dan aspek-aspek yang harus digarap (lihat hasil SAGKI 2015)
Comments
Post a Comment